KEWENANGAN JAKSA MELAKUKAN EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
Abstract
Korupsi merupakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi merupakan masalah serius, seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi akan dituntut dan dihukum sesuai dengan perbuatannya, sedangkan korban akan mendapatkan keadilan berdasarkan hukuman terhadap si pelaku. Keadilan tersebut akan benar-benar terwujud apabila putusan ini dilaksanakan (dieksekusi). Eksekusi putusan pengadilan dalam tindak pidana korupsi merupakan kewenangan Jaksa.
Jenis penelitian yang digunakan ialah gabungan antara penelitian hukum normatif dan yuridis sosiologis, dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen (bahan pustaka) dan wawancara.
Dalam penelitian ini prosedur pelaksanaan putusan hakim oleh Jaksa adalah sebelum pelaksanaan eksekusi, panitera harus mengirimkan salinan putusan kepada kejaksaan. Kemudian Jaksa akan mengeluarkan Surat P-48 (Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Hakim) kepada petugas Lembaga Pemasyarakatan dan status terdakwa akan berubah menjadi terpidana. Lalu dibuat BA-8 (Berita Acara Pelaksanaan Putusan Hakim) dan kendala yang dihadapi Jaksa melakukan eksekusi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dalam tindak pidana korupsi yaitu berkaitan dengan uang pengganti dimana Pembayaran uang pengganti korupsi merupakan penggantian terhadap kerugian keuangan negara. Jika terdakwa tidak bisa mengganti kerugian negara, maka Jaksa harus mengecek kekayaan terdakwa yang akan disita. Jika memang tidak ada yang dapat disita, maka terdakwa akan dikenakan pidana kurungan.
Collections
- Ilmu Hukum [1669]