dc.description.abstract | Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2019 sebagai pengganti Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 32 Tahun 2017, dalam peraturan ini terdapat jalur baru bagi para pihak yang meminta penyelesaian disharmoni regulasi melalui proses mediasi. Tujuannya adalah untuk mencapai kesepakatan antara pihak terkait (pemerintah) dan pemohon (orang, kelompok orang, badan atau kementerian, badan hukum) yang dirugikan oleh disharmonisasi regulasi. Melalui latar belakang tersebut, penulis membahas mekanisme penyelesaian disharmoni peraturan perundang-undangan melalui mediasi dengan terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 2 Tahun 2019 dan perbandingannya dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 32 tahun 2017.
Maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu digunakan untuk mempelajari/menganalisis data berupa bahan hukum. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yang digunakan untuk mengkaji/menganalisis data berupa bahan hukum.
Melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2019, Direktorat Jenderal Perundang-undangan berperan sebagai mediator dengan menyebut diri sebagai panel pemeriksa dan menerapkan mekanisme penyelesaian sengketa hukum perdata. Melalui peraturan ini, Kementerian Hukum dan HAM seolah diberi kewenangan untuk menjalankan mekanisme penyelesaian sengketa hukum seperti di lembaga peradilan. Dan dianalisis serta proses membandingkan apakah norma dalam suatu peraturan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Seperti lembaga peradilan, ada majelis yang memimpin pemeriksaan. Bedanya, majelis pemeriksa hanya mendengarkan keterangan pemohon dan pihak terkait, pendapat hukum para ahli, klarifikasi para pihak, serta menyimpulkan dan membacakan hasil mediasi. Dan majelis pemeriksa tidak memutus perkara persidangan seperti di pengadilan, tetapi hanya memimpin pemeriksaan melalui mediasi. | en_US |