dc.description.abstract | Pembangunan ekonomi dibidang industri kerap sekali memunculkan dampak terhadap pencemaran dan kerusakkan lingkungan hidup. Oleh sebab itu sejak 1982, Indonesia mengatur masalah pengolahan lingkungan hidup melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengolahan Lingkungan Hidup. Namun kebijakan ini terus mengalami perubahan, hingga terakhir tahun 2009 pemerintah menetapkan Perlindungan dan Pengelolahan Lingkungan Hidup melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Melalui Undang-Undang 2009 tersebut, tuntutan agar para pelaku pengerusakkan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum telah diakomodir. Hal tersebut diatur dalam Pasal 116 UUPPLH ayat (1) dan (2). Akan tetapi yang jadi permasalahan adalah: “bagaimana tanggungjawab seorang pekerja yang melakukan tindak pidana pencemaran lingkungan hidup jika perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan korporasi sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 116 ayat (2) UUPPLH”. Hal tersebut juga menjadi pertanyaan bagi penulis. Sehingga dalam karya tulis ini penulis mengangkat judul “Pertanggungjawaban Pidana Pekerja Perseroan Terbatas Yang Melakukan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama”.
Untuk mendukung penulisan ini, maka metode yang digunakan adalah analisis kasus secara yuridis normatif, dengan dasar peristiwa hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 163K/Pid. Sus/2010 tentang pertanggungjawaban pidana yang dilakukan terdakwa (I) Awing Bin Misin dan Terdakwa (II) Dedi Permana Bin Taba sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup untuk dan atau atas nama badan usaha.
Dari pengamatan penulis, dari kasus tersebut unsur-unsur tindak pidana lingkungan hidup sudah tepat, dan jika dikaitkan dengan pertanggungjawaban korporasi maka pengurus maupun badan usaha juga harus menerima hukuman. | en_US |